Minggu, 15 Maret 2015

Umat Islam VS Media Massa Sekuler

Saat ini saya melihat fenomena pembunuhan akal kritis rakyat Indonesia oleh media massa.

Hampir seluruh media massa saat ini adalah pendukung Jokowi, Ahok, dan kaum sekuler lainnya. Walaupun mereka sesekali mengkritik tapi seringkali apa yang mereka kritik itu bukan substansi sesungguhnya atau bukan terkait masalah-masalah besar. Bila ada tokoh umat mengkritik tokoh-tokoh sekuler dari kalangan mereka, ramai-ramai media membela tokoh sekuler itu. Karena mereka mungkin menyadari bahwa menjatuhkan kewibawaan tokoh-tokoh sekuler sama saja meruntuhkan sekularisme itu sendiri! Oleh karena itu, tokoh-tokoh sekuler itu harus dibela habis-habisan. Salah satu caranya adalah membuat opini tandingan seolah tokoh umat tersebutlah yang berbahaya bagi rakyat.

Dalam kasus Ahok vs DPRD DKI misalnya, pengamat seperti Effendi Ghozali misalnya mengatakan Ahok dikeroyok oleh anggota dewan. Jelas sekali pengamat seperti Effendi Ghozali walaupun kadang berusaha tampil objektif, namun seringkali memperlihatkan wujud aslinya sebagai pengamat yang tidak netral.

Taruhlah Ahok dikeroyok anggota dewan, maka yang terjadi saat ini juga anggota dewan dikeroyok media massa. Lebih parah mana, dikeroyok anggota dewan yang jumlahnya segelintir orang dan acapkali hanya mampu mempengaruhi segelintir orang lainnya atau dikeroyok media massa yang mampu mempengaruhi rakyat Indonesia secara keseluruhan; bisa saja yang haq dikatakan batil dan yang batil dikatakan haq.

Baru-baru ini juga beberapa lembaga survei mengungkapkan hasil surveinya yang menyebutkan 60-70% rakyat jakarta mendukung Ahok. Saya tidak terlalu heran dengan hasil survei ini karena mereka (LSI dan Cyrus) adalah lembaga survei pendukung Ahok.

Media massa sering mengopinikan seolah Ahok berada diposisi terzalimi padahal mulut Ahok, kata orang betawi, gede bacot; sering berkata kasar dan merendahkan bawahannya. Bagaimana bisa ia ditampilkan sebagai orang yang terzalimi sementara disisi lain dia tampil menzalimi?! Ahok mengatakan Legislatif dan Eksekutif sama-sama tukang garong. Apakah dia tidak menyadari bahwa dirinya bagian dari eksekutif? Apa yang terjadi sesungguhnya? Bukannya membersihkan internalnya atau aparat birokrasinya, dia malah ingin membangun pencitraan untuk dirinya pribadi.

Umat jangan sampai terperosok pada lubang pencitraan untuk yang kedua kalinya. Akal kritis dan hati nurani harus terus dimainkan. Jika tidak, saya takutkan sekularisme merajalela, orang-orang saleh disingkirkan dan syiar-syiar Islam dipadamkan. Percaya atau tidak, hal itu sudah mulai terjadi saat ini.

0 komentar:

Posting Komentar