Selasa, 29 September 2015

Bukti Orang Syiah Membuat Onar di Haramain

"Wkt lik dilah haji di madinah jg org iran ketangkep mo msk nabawi bw senjata. akhirnya polisi menyeret org iran. tp situasi jd mencekam. iran arab musuhan."

Saya copy paste apa adanya dari pernyataan salah seorang keluarga kami di grup BBM. Beliau warga biasa, tidak berafiliasi kepada kelompok tertentu apalagi wahabi. Pada tahun 2014 lalu beliau pergi haji beserta suaminya.

Saya membaca beberapa postingan yang berserakan di FB dan twitter. Ditambah lagi fakta-fakta yang mengemuka di media tentang keonaran yang dibuat orang Iran yang pergi haji. Jadi sudah mafhum yang membuat onar itu siapa dari tahun haji ke tahun haji berikutnya.

Senin, 28 September 2015

Masukan Untuk Asma Nadia Terkait Artikel Tentang Sebab Musabab Tragedi Mina

"Karena saya mengkritik Saudi, dan padahal saya nggak sendiri, & Iran mengkritik Saudi, maka saya = Iran = Syiah. Logika bagaimana ini:(" (Asma Nadia ditwitternya)

Saya memberi masukan kepada mbak Asma: 

Mbak Asma untuk kali ini saya tidak setuju dengan mbak. Kenapa mbak mengkritik Arab Saudi sedangkan kejadian yang sesungguhnya belum menemukan titik terang? Mbak Asma terlalu cepat menyimpulkan dan yang lebih berbahaya lagi kesimpulan itu mbak terbitkan di republika yang memiliki pembaca yang banyak. Kabarnya koran terbesar kedua di Indonesia. Tidak aneh kalau banyak orang menyangka mbak menggiring opini kepada publik pada sesuatu yang belum terbukti kebenarannya. Menurut saya ini adalah kesalahan yang fatal bagi seorang penulis senior seperti mbak Asma Nadia. Semoga Allah meluruskan setiap langkah kita. Aamiin.

Jumat, 25 September 2015

Baru Setahun Bapak Menjadi Presiden Sudah Membuat Rakyat Sengsara, Apalagi 20 Tahun

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengingatkan bahwa kerjanya memimpin Ibu Kota masih terbilang baru lebih dari setahun. Sehingga, jika disebut belum maksimal, memang belum maksimal karena pekerjaan masih terus berjalan.

"(Jadi Gubernur) Baru setahun, yang 20 tahun yang 30 tahun sudah apa?" ujar Jokowi di Pintu Air Karet, Jakarta Pusat, Minggu (12/1/2014). 

Menurut Jokowi, soal kemacetan dan banjir, sudah ada perkembangan yang bisa dilakukan untuk menguranginya. Untuk persoalan banjir, sudah ditanganinya dengan melakukan pengamatan pada lokasi genangan air di jalan-jalan di Ibu Kota. Untuk perbaikan tanggul juga sedang dikerjakan Pemprov DKI Jakarta seperti di Waduk Pluit dan juga Waduk Ria Rio, Waduk Ciracas, dan Waduk Tomang, Jakarta Barat. 

"Perbaiki tanggul, kan sudah kita keruk semuanya. Dulu yang tergenang mana, yang tidak mana," ucap Jokowi.

Sebelumnya, hasil survei dari Lembaga Suvei Media Survei Nasional (Median) menyatakan, kinerja Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo masih belum maksimal dalam menangani beberapa persoalan Ibu Kota. Beberapa di antaranya seperti masalah kemacetan dan banjir yang dianggap belum berjalan maksimal.

Adapun hasil survei lain dari Pusat Data Bersatu terhadap 12 hal yang ditangani Jokowi-Basuki pada November 2013 lalu, warga tidak puas mengenai persoalan pembenahan angkutan umum. Sebanyak 50,8 persen responden tidak puas dan 43,1 persen menyatakan puas. 

Sementara itu, respons paling memuaskan pada pasangan pemimpin Ibu Kota itu yakni untuk penanganan pedagang kaki lima. Sebanyak 77,7 persen pernyataan puas dan 18,5 persen responden tidak puas.

(http://megapolitan.kompas.com/read/2014/01/12/1601202/Jokowi.Saya.Baru.Setahun.yang.Sudah.20.Tahun.Buat.Apa)

Tanggapan:
Baru setahun saja bapak menjadi presiden sudah membuat rakyat sengsara, apalagi 20 tahun.

Jangan takabur pak Jokowi. Saya belum mendengar ada pimpinan daerah lain berbicara seperti ini. Akibat omongan bapak itu bisa jadi dampaknya sekarang, saat bapak menjadi presiden.

Seorang Tabi'in bernama Muhammad bin Sirrin pernah berdagang, namun menderita kerugian Sehingga menanggung hutang yang amat banyak.. Ia pun di penjara oleh Qadli..

Setelah dilepaskan, ia berkata: "Aku ingat dosaku dahulu.. Mungkin karena itu kini aku menderita beban ini.. Sekitar 40 tahun lalu.. Aku pernah berkata kepada seseorang, "Hai bangkrut.."

Rabu, 23 September 2015

Meraih Kemenangan Lewat Ujian dan Cobaan

Seorang pemimpin Islam seringkali hadir ditengah dunia yang sedang bergejolak. Nabi Muhammad Saw. lahir ditengah serangan pasukan Abrahah yang ingin menghancurkan Ka'bah. Shalahuddin Al Ayyubi lahir ditengah serbuan pasukan Salib terhadap Masjidil Aqsha. Sebagaimana juga kelahiran Utsman 1 bin Ertugrul di saat pasukan Mongol memporak porandakan pusat pemerintahan Abbasiyah di Baghdad. Kekacauan dunia saat itu telah menempa jiwa seorang mukmin. Sehingga mereka lebih mampu melihat penderitaan saudara-saudara mereka, lebih mampu bersabar, lebih mampu melihat kekurangan dan kelemahan yang ada, sekaligus lebih mampu melihat peluang dan kesuksesan.

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang jujur dan sesungguhnya Dia benar-benar mengetahui orang-orang yang dusta!" (QS. Al Ankabut: 2-3)

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesung-guhnya kita adalah orang-orang yang kembali kepada-Nya. Mereka itulah yang menda-pat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS. Al Baqarah: 155-157)

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (ujian) sebagaimana orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan), sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, "Bilakah datang pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat"." (QS. Al Baqarah: 214)

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya setiap orang yang hidup di dunia ini menyadari bahwa untuk mencapai tujuan hidupnya di dunia ini tidaklah semudah dan semulus yang dibayangkan; akan tetapi harus melalui berbagai macam rintangan dan ujian.

Selasa, 22 September 2015

Mempelajari Ilmu Filsafat dengan Selamat

Seorang Mahasiswa UIN SUMUT dipecat dari kampusnya setelah melakukan pelecehan terhadap Islam. Ini bukan untuk pertama kalinya seorang yang mengaku muslim tapi menginjak Al Quran dan melecehkannya. Anehnya hal itu terjadi di kampus yang notabene berlabel "Islam". Apa yang sebenarnya terjadi?

Kampus UIN dewasa ini sangat kental dengan ilmu filsafat Barat. Setelah sebelumnya Prof. Harun Nasution menjadi pionir utama dalam mengajarkan pola pikir mu'tazilah kepada para mahasiswanya. Pola pikir mu'tazilah hanya pijakan awal untuk memasuki lebih dalam kepada sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Tentu saja bukannya tidak boleh mempelajari filsafat Barat. Tapi mempelajarinya haruslah dilakukan dengan metode yang benar agar memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Karena filsafat Barat, selain filsafat kealaman juga mengandung filsafat ketuhanan. Filsafat ketuhanan dari filsafat Barat sudah jelas batil dan wajib dihindari karena kekafirannya.

Menurut Adnin Armas, MA, pemred majalah GONTOR dan peneliti INSIST, ada tiga syarat yang harus dipenuhi bila kita ingin mempelajari ilmu filsafat dengan selamat:

Pertama, adalah ilmu agama yang kuat. Syarat ini sesuatu yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi. Yaitu pemahaman yang benar tentang Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Kedua, kemampuan dialektika dan daya kritik yang kritis. Ini penting agar seseorang tidak menelan mentah-mentah setiap pemikiran orang Barat. Syarat ketiga, adanya guru atau ustadz yang membimbing selama belajar.

Ketiga-tiganya adalah satu kesatuan yang utuh. Tidak bisa hanya melakukan satu atau dua saja. Tidak bisa syarat pertama saja yang dipenuhi, tapi syarat kedua, yaitu kemampuan dialektika dan daya kritis tidak dipenuhi.

Banyak yang belajar ilmu filsafat Barat berasal dari pondok pesantren. Mereka dulunya sangat kental dalam mempelajari ilmu agama. Tapi sebagian dari mereka 'gagal' karena tidak memiliki kemampuan dialektika dan daya kritik yang kritis. Sehingga menghasilkan orang-orang yang secara pemikiran rada-rada gila. Seperti contohnya beberapa di antaranya yang menginjak dan menghina Al Quran, mengingkari hadits Nabi, dan menghina ulama. Mereka mengkritik kajian-kajian yang telah dibangun oleh para ulama salafus saleh. Tapi anehnya tidak mampu mengkritisi para filosof Barat. Karena apa? Karena mereka berpijak pada kajian filsafat Barat, bukan berpijak pada ajaran Islam itu sendiri.

Senin, 21 September 2015

Ikhwanul Muslimin dan Khilafiyah

Kelompok sufi dan tradisional menuduh Ikhwanul Muslimin adalah Wahabi. Sementara kelompok Salafy menuduh Ikhwanul Muslimin sebagai jamaah Sufi. Ikhwanul Muslimin dijepit dan diserang di antara dua tuduhan ini. Saya tidak sedang mengada-ngada terhadap tuduhan-tuduhan ini karena bisa dilacak pada dua kelompok tersebut.

Menurut saya, mereka yang menuduh tersebut karena dua hal: Pertama karena mereka tidak memahami manhaj Ikhwanul Muslimin. Dan kedua karena permusuhan mereka terhadap Ikhwanul Muslimin. Imam Hasan Al Banna memberi nama jamaahnya tentu saja mempunyai makna, harapan, dan cita-cita. Sebagaimana juga para pendiri jamaah Islam lainnya memberi nama jamaahnya. Ikhwanul Muslimin mempunyai arti “persaudaraan kaum muslimin”. Imam Hasan Al Banna memahami dakwah dimana ia bersentuhan langsung dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat. Beliau keluar masuk kedai-kedai kopi, berinteraksi dengan orang awam hingga para ulama. Salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah keributan-keributan pada masalah khilafiyah yang tidak pernah berkesudahan ujung pangkalnya; antara pembaca qunut dengan yang tidak, antara pembaca niat yang dijaharkan dengan yang tidak, antara pembaca sayidina pada shalawat dengan yang tidak, dan seterusnya. Keributan-keributan itu membuat umat Islam terpecah belah sehingga semakin terpuruk. Umat Islam sudah terpuruk karena kehilangan lambang pemersatu mereka, yaitu kekhalifahan Utsmaniyah, ditambah lagi pada keributan seputar khilafiyah. Keterpurukan umat Islam adalah musibah bagi zaman karena Islam tidak lagi menjadi ustadziyatul alam atau sokoguru peradaban.

Imam Hasan Al Banna adalah anak didik dari madrasah Imam Jamaluddin Al Afghani yang dikenal dengan ide Pan Islamisme-nya, anak didik dari madrasah Imam Muhammad Abduh dengan modernisasinya, anak didik dari madrasah salafiyahnya Imam Rasyid Ridha, sekaligus anak didik jamaah tarekat Hashafiyah yang mana istilah "mursyid am" adalah diambil dari istilah pembimbing tarekat itu sendiri dan wirid alma'tsurat adalah kebiasaan rutin jamaah tarekat itu. Maka semua istilah itu beririsan dengan manhaj Jamaah Ikhwanul Muslimin. Imam Hasan Al Banna mengatakan tentang hakikat Ikhwanul Muslimin: 

1. Dakwah salafiyah (dakwah salaf),
2. Thariqah sunniyah (jalan sunnah),
3. Hakikat shufiyah (hakikat sufi),
4. Hai'ah siyasiyah (lembaga politik),
5. Jama'ah riyadhiyah (kelompok olahraga),
6. Rabithah 'ilmiyah tsaqafiah (ikatan ilmiah berwawasan),
7. Syirkah iqtishadiyah (perserikatan ekonomi), dan
8. Fikrah ijtima'iyah (pemikiran sosial)

Kedelapan unsur ini tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya atau tidak bisa dihilangkan satu bagian dari keseluruhannya karena bila terjadi akan kehilangan hakikatnya. Maka tidaklah mengherankan apabila didalam tubuh jamaah ini terdapat banyak corak ragam pemikiran namun tetap menjalin persaudaraan dan saling mengasihi, sebagaimana yang terjadi pada salafus salih dahulu. Di antara tokoh-tokohnya ada yang berkecenderungan tasawuf seperti Syaikh Bahi Al Khuli, Syaikh Said Hawwa, Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, Syaikh Mutawalli Sya'rawi, dan Syaikh Muhammad Al Ghazali. Ada yang berkecenderungan salafy seperti Syaikh Muhibbuddin Al Khatib, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Manna Al Qathan, dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi. Namun semuanya memiliki titik temu dalam manhaj Ikhwanul Muslimin. Mereka para sufi yang fakih dan para fakih yang sufi. Mereka menelurkan karya tazkiyatun nafs, di sisi lain menelurkan pula karya dibidang tafsir, fikih, dan hadits.

Oleh karena itu, bukanlah pada tempatnya meributkan masalah khilafiyah dalam jamaah Ikhwanul Muslimin. Cukuplah mempersatukan umat dengan tiga perkara: pertama, kesatuan referensi (wihdatul maraji’iyah), semuanya berhukum dengan syariah Islam yang bersandar pada Al-Qur’an dan Sunnah; kedua, kesatuan tanah air Islam (wihdatu darul Islam), meskipun terdiri dari banyak negara yang jaraknya berjauhan; ketiga, kesatuan kepemimpinan (wihdatul qiyadah as-siyasiyah), yang diwujudkan dengan khalifah sebagai pemimpin tertinggi.

Minggu, 20 September 2015

Imam Ibnu Taimiyah: Ulama Ahlussunnah dan Murabbi Agung

Saya termasuk orang yang tidak setuju menjelek-jelekkan ulama sebesar Imam Ibnu Taimiyah. Seperti misalnya kalangan syiah dan sebagian ahlussunnah menjelek-jelekkannya dengan julukan dedengkotnya wahabi. Bagi saya beliau adalah ulama ahlussunnah waljamaah. Adapun kejelekannya yang banyak diungkapkan seperti mujasimah adalah fitnah yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak menyukainya. Kekurangannya, sebutlah demikian, adalah sikap kerasnya kepada musuh-musuh syariat. Beliau berhadapan secara frontal tokoh-tokoh syiah, wahdatul wujud, sejarawan yang menyimpang, pernah beliau meludahi buku sejarah yang banyak mengandung penyimpangan, dan beliau juga pernah mengkritik kitab Sibawaih yang dianggap "kitab sucinya" ahli bahasa dan mengatakan di dalamnya terdapat 81 kesalahan. Hal ini membuat marah Imam Abu Hayyan yang sebelumnya pernah memujinya. Semua itu, kritikan itu, selagi benar, adalah amar ma'ruf nahi munkar beliau dalam menghentikan segala kemungkaran yang tampak dihadapannya. Tapi mungkin saja sikap kerasnya itu dipandang lain, apalagi oleh orang yang dari segi keilmuan berada dibawahnya.

Namun di sisi lain, beliau menunjukkan sikap lemah lembut, tawadhu, banyak beribadah, Prof. Fazlur Rahman menyebut beliau sebagai neo-sufi, sebagai julukan terhadap ulama yang memiliki citra ruhani. Beliau pernah berkata, ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.” Beliau juga pernah berkata, "Manusia tanpa dzikir seperti ikan tanpa air."

Imam Ibnu Taimiyah meninggal penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya Imam Ibnul Qayyim, ketika dia sedang membaca Al-Qur'an surah Al-Qamar yang berbunyi "Innal Muttaqina fi jannatin wanaharin"

Tidaklah mengherankan di antara deretan murid-muridnya adalah ulama-ulama Rabbani yang tidak diragukan lagi, sebut saja misalnya Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah yang karyanya I'lamul Muwaqqin adalah rujukan utama pemikiran banyak ulama besar, seperti pengakuan Syaikh Wahbah Zuhaili. Beliau juga menelurkan masterpice dibidang tasawuf "Madarijus Salikin". Lalu ada murid beliau yang lain seperti Imam Ibnu Katsir, pakar tafsir dan sejarah yang tiada duanya, salah satu ulama besar mazhab syafi'i. Ada juga ahli hadits dan sejarawan kenamaan seperti Imam Adz Dzahabi.

Bagaimana mungkin ulama seperti Imam Ibnu Taimiyah mampu melahirkan generasi ulama-ulama Rabbani jika beliau sendiri bukan seorang murabbi agung. Di antara orang yang membenci dan mencintainya secara fanatik, saya adalah orang yang berusaha bersikap adil terhadapnya. Sebagai penghormatan saya kepada para ulama besar, maka saya berkata apalah saya ini. Khilafiyah di antara para ulama saya biarkan apa adanya tanpa perlu menghujat di antara pendapat yang bertolak belakang dengan pendapat yang saya yakini. Saya katakan, semua itu, perbedaan pada masalah-masalah furu, adalah rahmat dari Allah yang bisa saja satu pendapat dapat dijadikan pegangan dimasa tertentu, tapi dimasa lain pendapat yang lain lebih layak dijadikan pegangan.

Semoga Allah merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Sabtu, 19 September 2015

Jenggot dan Sunnah Nabi

Zaman sekarang ini niat orang memelihara jenggot berbeda-beda. Sebagian karena mode, sebagian lagi karena mengikuti sunnah Rasul, mungkin saja ada yang karena alasan kesehatan. Di dalam kitab "Bagaimana Menyentuh Hati" karya Syaikh Abbas As Sisi rahimahullah disebutkan sebuah kisah tentang hal ini. Suatu ketika Syaikh Abbas menaiki kendaraan umum. Di dalam kendaraan tersebut ada seorang pemuda yang berjenggot. Syaikh pun bertanya, "Untuk apa antum berjenggot?" Pemuda itu menjawab, "Mengikuti Sunnah Rasul."

Tentu saja seorang muslim yang tidak berjenggot tidak berarti pula dia orang yang sesat. Tapi berjenggot dengan niat ittibaur Rasul itulah yang menjadikan amal yang kelihatan remeh itu menjadi besar disisi Allah. Rasulullah Saw. bersabda, Man Ahabba Sunnati Faqad Ahabbani, "Barangsiapa yang mencintai sunnahku, maka sesungguhnya dia mencintaiku." Dalam hadits shahih yang lain disebutkan, di akhirat nanti kita akan bersama dengan orang yang kita cintai. Siapa lagi kalau bukan bersama Rasulullah Saw.

Bagi saya mengejek muslim berjenggot (yang berniat ittibaur Rasul) adalah sebuah penghinaan kepada masalah ushuliyah yang berakibat pada kesesatan orang yang mengejek. Sebagai contoh terkait istihza atau memperolok-olok agama. Karena tidak mungkin bagi seorang mukmin melakukan istihza. Imam Al Fakhrur Razi dalam tafsirnya mengatakan: "Sesungguhnya, memperolok-olok agama, bagaimanapun bentuknya, hukumnya kafir. Karena olok-olokan itu menunjukkan penghinaan; sementara keimanan dibangun atas pondasi pengagungan terhadap Allah dengan sebenar-benar pengagungan. Dan mustahil keduanya bisa berkumpul." (At Tafsir Al Kabir (XVI/124).

Kondisi orang yang beriman digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya, "Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati." [Al Hajj:32].

Rabu, 16 September 2015

Tuntutlah Ilmu Mulai dari Buaian Hingga Liang Lahat

Pada detik-detik terakhir ketika ajal hendak menjemput Abu Raihan Al Biruni, beliau masih ingin membahas permasalahan ilmu yang belum tuntas jawabannya. Saat detik-detik kematian beliau, ada sahabatnya yang bernama Abu Hasan al-Walwajiyi hadir menjenguknya. Beliau telah mendengar pendapat Abu Hasan tadi tentang bagian warisan nenek yang ternyata kurang tepat. Pada saat itu Abu Hasan merasa kaget dan bertanya, “Apakah dalam situasi genting semacam ini engkau masih membahas tentang pendapat saya sementara engkau hendak meninggalkan dunia ini?” Kemudian beliau menjawab, “Apakah pantas saya meninggalkan dunia ini sementara saya tahu tentang suatu masalah dan saya tidak membenarkannya?”.
Yang hidup malas menuntut ilmu. Sedangkan engkau, yang mau mati, masih membahas ilmu dengan senang hati.

Minggu, 06 September 2015

Tips Istiqomah Membaca Al Quran

Bagi orang yang merasa berat membaca Al Quran, saya sarankan cobalah duduk dan mulai membaca Al Quran. Lembar pertama mungkin akan terasa berat bagi anda karena pada saat itu sedang terjadi pertarungan antara nafsu dengan iman. Kalau anda berhenti, anda akan semakin malas membaca Al Quran pada waktu-waktu berikutnya. Oleh karena itu, lanjutkan terus membacanya. Anggaplah semua itu ujian dan pengorbanan bagi Anda. Saksikanlah setelahnya Al Quran menjadi terasa ringan dan semakin ringan untuk dibaca. Hingga anda dapat menyelesaikan satu juz, dua juz, bahkan tiga juz penuh dengan kenikmatan.

Sabtu, 05 September 2015

Menuntut Ilmu Agama Haruns Diikut Ketakwaan

Menuntut ilmu agama haruslah diiringi dengan ketakwaan. Karena jika telah memperoleh banyak ilmu, biasanya timbul dalam hati perasaan ujub. Sedangkan ketakwaan membawa hati tetap tawadhu. Bahwa di atasnya masih ada orang yang lebih tinggi ilmunya. Dan semua ilmu pada akhirnya adalah milik Allah Azza wa Jalla.

Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”

Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)