Minggu, 29 November 2015

Bahaya Ajaran Imamah dalam Syiah

Saya heran setelah saya membaca sejarah tokoh-tokoh Islam, banyak ulama ahlussunnah ternyata kelahiran Iran. Sebut saja misalnya, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam Nasa'i, Imam Ibnu Majah, Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari, Imam Hakim, Imam Al Baihaqi, Imam Al Ghazali, Imam Al Juwaini, Imam Abu Nuaim Al Isfahani, Imam Syibawaih, Imam Al Farahidi, Imam Abu Hatim Ar Razi, Imam Ibnu Abi Hatim Ar Razi, Imam Abu Hanifah Ad Dinawari, Imam Fakhruddin Ar Razi, dsb.

Mereka adalah ulama dan ilmuwan besar diberbagai bidang, mulai dari hadits, tafsir, tasawuf, fikih, sejarah, ushul fikih, filsafat, dan sains. Saya membaca di dalam sejarah, nama-nama mereka begitu terkenal dan karya-karya mereka menjadi rujukan hingga kini. Apakah itu artinya, Iran dulunya adalah negeri ahlussunnah? Di mana kitab-kitab hadits Kutubus Sittah dan lainnya, yang memuliakan para sahabat Nabi, diajarkan di majelis-majelis ilmu yang tersebar ke seluruh penjuru kota.

Saya juga heran mengapa kemudian Syiah dulu pernah berkuasa di Mesir saat zaman Fatimiyah. Padahal Mesir dulunya adalah negeri ahlussunnah. Bahkan ia didulunya ditaklukkan oleh salah seorang sahabat Nabi yang dibenci syiah, yaitu Amr bin Ash Ra.

Berbicara soal akidah bagi syiah, juga berbicara tentang kekuasaan, kepemimpinan, atau imamah. Muhammad bin Ya’qub Al-Kulany, pakar hadist Syi’ah, meriwayatkan sejumlah hadits yang menunjukkan bahwa Imamah merupakan rukun Islam terbesar. Maka kekuasaan adalah jalan mereka untuk menyebarkan ajaran mereka dengan menghalalkan segala cara. Maka, merebut suatu negeri dari tangan ahlussunnah adalah KEWAJIBAN bagi mereka. Walaupun mungkin hal itu tidaklah mudah untuk dilakukan.

Pendidikan Islam di Zaman Keemasan Islam

Di zaman keemasan Islam anak-anak kecil memulai pelajarannya dengan menghafal Al Quran. Tidak mengherankan bila sedari kecil mereka sudah mampu menghafalnya secara keseluruhan. Hafalan ini adalah bekal untuk mereka dalam mengarungi samudera kehidupan ini.

Ahli kedokteran muslim terkemuka, Ibnu Sina, dalam buku As-Siyasah memberikan nasihat agar seorang anak sejak kecil sudah mulai diajari Al Quran. Hal ini dimaksudkan agar ia mampu menyerap bahasa Al Quran serta tertanam dalam hati mereka ajaran-ajaran tentang keimanan.

Sejarawan terkemuka, Imam Ibnu Khaldun, di dalam Muqadimah-nya, mengisyaratkan akan pentingnya mengajarkan dan menghafalkan Al-Qur'an kepada anak-anak. Ia juga menjelaskan bahwa pengajaran Al-Qur'an merupakan dasar bagi seluruh kurikulum sekolah di berbagai dunia Islam. Sebab, Al-Qur'an merupakan salah satu syiar agama yang dapat menguatkan akidah dan keimanan.

Apakah nantinya mereka menjadi seorang ahli tafsir Al Quran atau ahli ilmu-ilmu keagamaan lainnya atau mereka menjadi seorang dokter, ahli fisika, matematika, kimia, biologi, nilai-nilai Al Quran tetap melekat pada jiwa mereka. Bila dia dokter, menjadi dokter yang islami. Bila dia insinyur, menjadi insinyur yang islami.

Syaikh Muhammad Al Ghazali dalam bukunya Kaifa Natama'al Quran berkata, "Dapat dikatakan bahwa pada saat melekatnya hafalan, mudah juga untuk memberikan pemahaman terhadap isi Al Quran. Artinya, sudah ada potensi untuk menginterpretasi dan menganalisis makna-makna Al Quran, bahkan lebih dari itu."

Misalnya ketika hati sedang gelisah, mereka yang menghafal Al Quran teringat dengan ayat, "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28) Maka, mereka pun mulai mengingat Allah.

Ketika mulai timbul malas dalam belajar, mereka yang telah hafal Al Quran dengan cepat mengingat ayat yang berbunyi, "Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 247) Bagaimana mungkin meraih apa yang kita inginkan atau meraih kepemimpinan apabila kita sendiri tidak memiliki ilmu yang memadai. Maka, semangatnya pun tumbuh kembali. Begitu seterusnya. Al Quran selalu hadir untuk mengingatkan.

Syaikh Muhammad Khair Ramadhan dalam bukunya "Petuah-Petuah Luqmanul Hakim" mengatakan bahwa salah satu pintu meraih hikmah adalah dengan menghafal Al Quran.

Maknanya, jangan pernah meremehkan menghafal Al Quran. Justru menghafal Al Quran adalah pondasi bagi kebangkitan Islam. Orang-orang yang menghafal Al Quran lebih mudah memahami Al Quran ketimbang mereka yang belum menghafalnya. Semakin banyak penghafal Al Quran artinya semakin besar pula peluang kebangkitan Islam.

Saya mendapatkan kisah berikut ini dari kitab Miftahu Daaris Sa'adah karya Imam Ibnul Qayyim dalam babnya tentang keutamaan ilmu: Saat Umar bin Khaththab menjadi khalifah, beliau menunjuk Nafi' bin Abdul Harits menjadi walikota Makkah. Umar berkata kepadanya, "Siapa yang engkau tunjuk sebagai wakilmu di penduduk lembah tersebut?" Nafi' berkata,"Ia adalah salah seorang dari mantan budak kami." Umar bertanya, "Engkau mengangkat salah seorang mantan budak untuk memimpin mereka?" Nafi menjawab, , "Ia penghafal Al Quran dan ahli tentang ilmu faraid." Umar berkata, "Sesungguhnya Nabi kalian Saw. telah bersabda, 'Sesungguhnya Allah dengan kitab ini mengangkat banyak kaum dan menurunkan kaum-kaum yang lain dengannya pula'."

Umar bin Khaththab, sebagaimana banyak sahabat lainnya, sangat menghormati para penghafal Al Quran. Bahkan mereka mendapat tempat terhormat di pemerintahannya meskipun dulunya mereka bekas budak.

Kamis, 26 November 2015

Belajar Agama di Pondok Pesantren Hidayatullah

Saya sangat beruntung dapat belajar agama bersama ustadz-ustadz dari Pondok Pesantren Hidayatullah. Walaupun tergolong singkat, hanya 2 tahun, tapi sangat membekas dihati saya. Jujur saja, saya baru benar-benar bisa membaca Al Quran pada saat itu dimana saya sudah duduk dibangku SMA. Boleh dibilang sangat terlambat bila dibanding dengan kebanyakan muslim lainnya yang sudah pandai membaca Al Quran ketika masih SD.
Sebenarnya untuk belajar Al Quran sendiri saya sudah belajar sejak duduk dibangku SD tapi pengajaran itu tidak membekas di akal dan hati saya. Mungkin karena saya tidak terlalu konsentrasi atau pola pengajarannya yang tidak begitu tepat untuk akal dan hati saya. Mungkin yang lebih tepat yang kedua daripada yang pertama.
Pondok Pesantren Hidayatullah sudah terkenal dengan militansinya. Mereka berdakwah mulai dari kota-kota hingga pedalaman papua. Saya sangat terkesan dengan dakwah mereka; membina dengan penuh kesabaran dan kasih sayang namun tetap teguh memegang prinsip.
Untuk hari guru kemarin, saya persembahkan salam ta'dzim saya kepada guru-guru saya dari PP Hidayatullah yang walaupun namanya saya lupa tapi wajahnya masih saya ingat di benak saya. Mereka yang telah mengajarkan saya Al Quran dan As Sunnah beserta makna-maknanya. Terutama kepada pendiri Pondok Allahuyarham KH. Abdullah Said. Semoga Allah menjaga, melindungi dan merahmati mereka. Aamiin.

Rahasia Dibalik Umur 40 Tahun

"Tanda-tanda kebencian Allah terhadap seseorang ialah ketika ia menyia-nyiakan waktu dengan melakukan hal-hal yang tiada guna. Umur seseorang akan berlalu, tetapi jika ia tidak menggunakannya untuk beribadah yang diperintahkan Allah, pantas ia menyesal sepanjang masa. Barangsiapa telah berumur lebih dari empatpuluh tahun, sedangkan amal baiknya belum mampu mengalahkan amal buruknya, bersiap-siaplah dia masuk neraka." (Hadits Rasulullah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Ghazali dalam buku Ayyuhal Walad)

Waktu begitu pendek. Bahkan terasa cepat berlalu. Banyak yang hari-harinya hanya disibukkan rutinitas yang membosankan. Pagi kerja, sore pulang kerja. Malam tidur sampai pagi. Lalu kerja lagi. Begitu seterusnya. Makan-minum-BAB-BAK. Sebagian mungkin menyelinginya dengan ibadah wajib seperti shalat. Dapat uang segitu-segitunya. Dapat gaji segitu segitunya. Tapi yang didapat hanya sekedar lelah badan, bukan nikmatnya perasaan. Ingin mendapat dunia yang lebih; lebih kaya, lebih makmur, tidak dapat-dapat juga. Akhirnya dunia tidak dapat, apalagi akhirat.

Ada apa dengan umur 40 tahun? Para ulama dan ilmuwan mengatakan bahwa umur segitu adalah kesempurnaan kekuatan fisik dan mental, atau kematangannya, atau puncaknya. Maka dapat dipahami jika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama yang menandai dimulainya misi kenabiannya ketika beliau berusia 40 tahun. Allah pun secara khusus menyebut angka usia 40 tahun dalam sebuah ayat yang menjelaskan kewajiban seorang anak berbakti kepada ibu bapaknya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al Ahqaaf:15).

Surat kabar Telegraph menerbitkan sebuah artikel berjudul: "Brain only fully 'matures' in middle age" yang kurang lebih artinya “Sesungguhnya perkembangan otak tetap berlangsung sampai di pertengahan umur seseorang.” Dikatakan dalam artikel itu perkataan sebagai berikut:”Anda mungkin mengira bahwa Anda akan menjadi sepenuhnya matang (dalam berpikir) saat Anda berada di usia 21 tahun, tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa otak Anda tidak berhenti perkembangannya, sampai akhir usia 40 tahunan.”

Dalam penemuan ini para ilmuwan menggunakan alat yang dinamakan alat scan fMRI (Functional magnetic resonance) yaitu sebuah alat yang sangat canggih yang bisa mengukur aktivitas dan perubahan-perubahan di daerah otak dengan cara yang menakjubkan. Dan sebelum abad 21, tidak ada satupun ilmuwan yang mengetahui bahwa perkembangan otak tidak sampai pada kesempurnaan melainkan di akhir usia empat puluh tahunan!

Profesor Sarah-Jayne Blakemore, Professor of Cognitive Neuroscience at the Institute of Cognitive Neuroscience, University College London dan co-director of the Wellcome Trust PhD Programme in Neuroscience at UCL, berkata:”Sejak kurang dari sepuluh tahun yang lalu, kami meyakini bahwa pertumbuhan otak terhenti pada usia dini dari umur manusia.”

Kemudian dia melanjutkan:”Tetapi ujicoba scan resonansi magnetik (fMRI) pada otak menunjukkan bahwa pertumbuhan otak akan berlanjut sepanjang usia tiga puluhan dan samapi umur empat puluh tahunan dari umur manusia! Dan Daerah yang paling penting dan paling besar pertumbuhannya adalah bagian bawah ubun-ubun. Bagian itu adalah bagian paling atas di daerah otak depan, yang dialah yang membedakan kita sebagai manusia dengan makhluk lain.”

Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman, "Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam tempo yang cukup untuk berfikir bagi orang-orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepadamu pemberi peringatan?" (QS. Al-Fathir: 37)

Menurut Ibnu Abbas, Hasan Al-Bashri, Al-Kalbi, Wahab bin Munabbih, dan Masruq, yang dimaksud dengan “umur panjang dalam tempoh yang cukup untuk berfikir” dalam ayat tersebut tidak lain adalah ketika berusia 40 tahun.

Menurut Imam Ibnu Katsir, ayat ini memberikan petunjuk bahwa manusia apabila menjelang usia 40 tahun hendaklah memperbaharui taubat dan kembali kepada Allah dengan bersungguh-sungguh.

Imam Syafi'i setelah mencapai umur 40 tahunan, berjalan dengan menggunakan sebatang tongkat kayu. Ketika ditanya sebabnya, ia berkata "Supaya aku sentiasa ingat bahwa aku adalah seorang musafir yang sedang berjalan menuju akhirat."

Bagi yang telah berumur empat puluh tahun, hendaknya ia memperbaharui tobatnya dan memperbanyak amal saleh daripada yang sudah-sudah. Sedangkan bagi mereka yang belum, sesungguhnya tahun-tahun adalah kumpulan menit-menit, jam-jam, dan hari-hari. Kebaikan yang kita tanam hari ini, buahnya esok kita rasakan. Begitupun dengan kejahatan yang kita tanam hari ini, buahnya juga esok kita rasakan. Istiqomah adalah kumpulan dari ketaatan yang tidak sebentar. Sedangkan bagi pelaku maksiat, kebaikan akan terasa berat untuk dilakukan karena ia belum terbiasa untuk melakukannya. Ketika usia sudah mencapai empatpuluh tahun tapi belum juga terbiasa berbuat kebaikan, mungkin dimasa lalunya banyak berbuat kemaksiatan dan sedikit berbuat kebaikan.

Rabu, 25 November 2015

Adakah Sama Orang yang Berilmu dengan yang Tidak?

Saya sering membaca ayat-ayat seperti ini di dalam Al Quran:

“Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’” (QS. Az-Zumar: 9)

"Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta?" (QS. Ar Ra'd: 19)

Ayat-ayat seperti ini di dalam Al Quran dikenal dengan istilah istifham yang berarti mengerti, paham, dan jelas. Maknanya kita tidak perlu bersusah payah untuk menemukan jawabannya karena pada hakikatnya semua dari kita sudah mengetahui jawabannya.

Justru yang perlu kita renungkan adalah tentang sindiran dari ayat ini. Seolah ia mengatakan, "Orang yang berilmu kok kelakuannya sama dengan orang yang tidak berilmu. Apakah kamu benar-benar berilmu?" Sebagai contoh, orang yang mengetahui keutamaan zikir tetapi tidak berzikir. Lantas apa bedanya dengan orang yang tidak mengetahui keutamaan zikir?

Ayat-ayat seperti ini pada intinya mengajak kita untuk merenungi diri kita sendiri, sampai sejauh mana kita mencari ilmu dan sampai sejauh mana pula kita mengamalkannya. Jadi tidak sebatas untuk mengetahui tetapi ia juga mengajak kita mengamalkan apa yang kita ketahui tersebut.


Ikhwanul Muslimin dan Tasawuf

Saya termasuk orang yang mengambil manfaat dari kelompok manapun dan membuang yang tak berguna dari kelompok manapun. Baik dari kalangan Salafi maupun Sufi. Saya mempelajari buku-buku karya Imam Ibnul Qayyim dan Imam Ibnul Jauzy mencerminkan hal itu. Saya juga berguru pada jamaah Ikhwanul Muslimin tentang hal ini. Buku-buku seperti Madarijus Salikin, Shaidul Khathir, Dzammul Hawa dan Minhajul Qashidin banyak merekam nuansa tasawuf atau tazkiyatun nafs dengan sangat kuat. Buku yang terakhir (Minhajul Qashidin) adalah hasil tahqiq dan takhrij Imam Ibnu Al Jauzy terhadap buku Ihya Ulumuddin. Dengan kata lain, beliau "menulis ulang" buku Ihya Ulumuddin; meluruskan yang menyimpang, mencantumkan yang bermanfaat, membuang hadits-hadits yang dhaif dan jika ada menggantinya dengan hadits-hadits yang shahih. Intinya, gagasan besar buku Ihya Ulumuddin sebenarnya masih tersimpan dalam buku Minhajul Qashidin.

Saya pernah membaca buku yang ditulis tokoh Ikhwanul Muslimin. Buku itu tidak terlalu tebal. Buku itu adalah sebuah intisari dari kitab Madarijus Salikin karya Imam Ibnul Qayyim. Tokoh Ikhwan itu berkata dalam mukadimahnya jika apa yang dia tulis adalah materi-materi yang disampaikannya kehadapan kader-kader Ikhwan ketika di dalam penjara. Saya teringat yang pertama kali menerjemahkan kitab Madarijus Salikin secara lengkap (3 jilid) ke dalam bahasa Indonesia adalah dari penerbit Robbani Press, penerbit yang banyak menerbitkan buku-buku harokah Ikhwanul Muslimin.

Sosok masyaikh Ikhwan yang sangat kental nuansa sufistiknya di antara Syaikh Said Hawwa yang telah mensyarah kitab Al Hikam, sebuah mahakarya Imam Ibnu A'thaillah As Sakandari, seorang gurubesar Tarekat Syadziliyah. Kitab beliau yang lain seperti Tazkiyatun Nufus, yang merupakan intisari dari Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali. Lalu ada kitab Tarbiyatunar Ruhiyah yang merupakan rujuk antara harokah dan tasawuf. Mungkin kitab Al Hikam di pilih karena pada hakikatnya kitab itu selain menggambarkan kejernihan, juga menjelaskan hikmah dan keseimbangan, antara dunia dan akhirat, akal dan hati.

Tokoh yang lain adalah Syaikh Muhammad Al Ghazali. Beliau juga telah menulis kitab Al Janib Al 'Athifi fi Al Islam di antaranya banyak menjelaskan isi kitab Al Hikam. Kitab Al Hikam adalah butiran-butiran mutiara berharga dengan bahasa Arab yang fushah sehingga sangat berharga untuk disampaikan dan dijelaskan kepada umat. Buku beliau lainnya yang bernuansa tazkiyatun nafs adalah Fann Adz Dzikri wa Ad Dua' Inda Khatim Al Anbiya. Yaitu pembahasan tentang dzikir dan doa.

Ada yang mengatakan tasawuf adalah kelemahan. Memang betul. Tapi tasawuf yang dimaksud adalah tasawuf yang menyimpang dari syariat. Sementara tasawuf yang menjalankan syariat, justru malah menguatkan dan mensucikan hati. Hal ini telah dijelaskan dalam buku Majmu Fatawa karya Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau berkata, "Seorang sufi yang hakiki (shufiyyah al-haqa’iq) haruslah memenuhi 3 syarat berikut:

Pertama, Ia harus mampu melakukan “keseimbangan syar’i”. Yaitu dengan menunaikan yang fardhu dan meninggalkan yang diharamkan. Dengan kata lain, seorang sufi yang hakiki harus komitmen dengan jalan taqwa. Kedua, Ia harus menjalani adab-adab penempuh jalan ini. Yaitu mengamalkan adab-adab syar’i dan meninggalkan adab-adab yang bid’ah. Atau dengan kata lain, mengikuti adab-adab al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Ketiga, bersikap zuhud terhadap dunia dengan meninggalkan hal-hal yang tidak ia butuhkan dan menyebabkannya hidup berlebihan.

Tiga syarat di atas adalah tiga gambaran besar tentang sosok sufi sejati. Para pejuang-pejuang Ikhwanul Muslimin di manapun berada, dari zaman Imam Hasan Al Banna yang syahid di Mesir, Syaikh Abdullah Azzam yang syahid di Afghanistan, hingga Syaikh Ahmad Yasin yang syahid di Palestina, pada gilirannya adalah sosok-sosok sufi sejati yang menghabiskan siang-malam untuk taqarub kepada Allah Swt.

Kamis, 19 November 2015

Ulama Besar Saja Ditipu Syiah, Bagaimana dengan Kita yang Awam?

Siapa yang tidak mengenal nama Syaikh Yusuf Al Qaradhawi? Ulama besar yang dilahirkan dari rahim Universitas Al Azhar. Buku-buku yang beliau tulis sangat banyak jumlahnya. Syaikh Abul A'la Maududi menyebut karya beliau, Fiqhuz Zakat sebagai karya terbaik di abad ke-20. Imam Hasan Al Banna berkata, "Sesungguhnya ia adalah seorang penyair yang jempolan dan berbakat." Di waktu mudanya, Syaikh Yusuf Al Qaradhawi memang dikenal sebagai penyair yang jempolan. Bakat ini tampaknya menurun kepada putra beliau, Abdurrahman yang dikenal sebagai seorang penyair. Bila Hasan Al Banna melihat keilmuan Syaikh Yusuf di masa tuanya, maka pujiannya mungkin akan bertambah, sebagaimana telah disaksikan ulama besar lainnya.

Imam Abul Hasan An Nadwi, ulama terkenal asal India berkata: "Al Qaradhawi adalah seorang 'alim yang sangat dalam ilmunya sekaligus sebagai pendidik kelas dunia."

Al 'Allamah Musthafa Az Zarqa', ahli fiqh asal Suriah berkata: "Al Qaradhawi adalah Hujjah zaman ini dan ia merupakan nikmat Allah atas kaum muslimin." Al Muhaddits Abdul Fattah Abu Ghuddah, ahli hadis asal Suriah berkata: "al Qaradhawi adalah mursyid kita. Ia adalah seorang 'Allamah."

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz mantan mufti kerajaan Saudi dan ketua Hai'ah Kibarul Ulama berkata: "Buku-bukunya memiliki bobot ilmiah dan sangat berpengaruh di dunia Islam."

Syaikh Qadhi Husein Ahmad, amir Jamiat Islami Pakistan berkata: "Al Qaradhawi adalah madrasah ilmiah fiqhiyah dan da'awiyah. Wajib bagi umat untuk mereguk ilmunya yang sejuk." Syaikh Thaha Jabir al Ulwani, direktur International Institute of Islamic Thought di AS, berkata: "Al Qaradhawi adalah faqihnya para dai dan dainya para faqih."

Syaikh Muhammad Al Ghazali, ulama besar Al Azhar, berkata: "Al Qaradhawi adalah salah seorang Imam kaum muslimin zaman ini yang mampu menggabungkan fiqh antara akal dengan atsar." Ketika ditanya lagi tentang al Qaradhawi, ia menjawab, "Saya gurunya, tetapi ia ustadku. Syaikh dulu pernah menjadi muridku, tetapi kini ia telah menjadi guruku."

Syaikh Abdullah bin Baih ulama besar Saudi berkata: "Sesungguhnya Allamah Dr. Yusuf al Qaradhawi adalah sosok yang tidak perlu lagi pujian karena ia adalah seorang 'alim yang memiliki keluasan ilmu bagaikan samudera. Ia adalah seorang dai yang sangat berpengaruh. Seorang murabbi generasi Islam yang sangat jempolan dan seorang reformis yang berbakti dengan amal dan perkataan. Ia sebarkan ilmu dan hikmah karena ia adalah sosok pendidik yang profesional."

Syaikh Yusuf Al Qaradhawi hafidzahullah pernah mengatakan bahwa pekerjaan yang paling disesalinya adalah mengadakan taqrib antara ahlussunnah dengan syiah.

Kita ketahui bersama, dulu Syaikh Yusuf adalah ulama yang paling getol mensyiarkan perlunya taqrib antara ahlussunnah dengan syiah. Karena gagasannya ini, sebagian orang menuduh beliau sebagai ulama yang sesat. Padahal niat beliau bagus; husnudzon dan menyatukan umat Islam. Tetapi tampaknya usaha beliau ini disalahgunakan oleh ulama-ulama syiah untuk menyebarkan syiah di negeri-negeri sunni. Mereka kini banyak berlindung dibalik "Risalah Amman" di mana Syaikh Yusuf banyak terlibat didalamnya.

Syaikh Yusuf Al Qaradhawi mengubah pandangannya tentang syiah dan taqrib sunnah syiah setelah beliau menyaksikan bahwa kenyataan yang terjadi dilapangan jauh berbeda dengan apa yang diucapkan ulama syiah bahwa mereka tidak mensyiahkan sunni dan tidak mencela sahabat..

Syaikh Yusuf Al Qaradhawi sampai berkata seperti ini dibuku fatwa terbarunya: "Saya tidak ingin mengatakan jika mereka (para ulama Syiah) mengatakan hal ini adalah sebagai bentuk Taqiyyah." Mungkin beliau ingin mengatakan kepada ulama-ulama syiah tersebut, "Apakah anda sedang bertaqiyah? Di sini ngomong A, diluar ngomong B?"

Syaikh Yusuf lanjut berkata, "Akan tetapi saya melihat jika ajaran Syiah yang dominan selalu melampaui seluruh ucapan ulama Syiah di berbagai forum. Ini imbas dari sejarah yang panjang. Inilah wujud realitas yang dipenuhi kebencian dan dendam kesumat.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa siapa saja orangnya yang sudah mengenal madzhab Syiah, maka dengan mudah dia akan memahami sikap Syi’ah terhadap para sahabat, terutama terhadap para sahabat senior."

Beliau menegaskan bahwa kebencian syiah kepada para sahabat Nabi itu sangat mudah ditemukan. Bukan suatu yang aneh, apalagi sebentuk konspirasi. Semuanya jelas dan terang benderang.

Lebih lanjut beliau berkata, "Saya sangat sedih ketika terjadi peristiwa di Beirut pada tahun 2008, pada saat pasukan Hizbulloh memasuki rumah-rumah Ahlu Sunnah sambil berteriak, ”Semoga Allah SWT melaknat tiga orang!” Tiga orang yang mereka maksudkan adalah Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan. Cerita ini saya dengar dari orang-orang yang bisa dipercaya, karena mereka menyaksikannya sendiri."

Fakta-fakta seperti ini, kini tidak hanya lewat lisan si fulan yang jujur, tapi juga lewat tayangan-tayangan yang dapat dengan mudah kita temui di media-media internet seperti youtube.

Kenyataannya, tidak hanya Syaikh Yusuf Al Qaradhawi yang kena tipu Syiah, ulama-ulama besar dari Al Azhar nasibnya hampir sama seperti beliau. Lembaga taqrib di Al Azhar sudah lama non aktif karena banyak ditentang oleh para ulama besar Al Azhar sendiri seperti Syaikh Muhammad Arafah (anggota Hay’ah Kibar Ulama Azhar), Syaikh Hasanain Makhluf (mantan Mufti Agung Mesir), Syekh Gad elHaq Ali Gad elHaq mantan grand Syaikh al-Azhar, Dr. Abdul Mun’im An Nimr (mantan wakil Grand Syekh al-Azhar dan menteri wakaf Mesir), serta Syaikh Athiyyah Shaqr (ketua komisi fatwa al-Azhar) dan lain-lain.

Karena terbukti terkuak taqiyahnya Al-Qummi dan tak sesuai harapan karena Abdul Husain al-Musawi salah satu penggerak motor Taqrib ternyata menerbitkan kitab al-Muraja’at isinya surat menyurat fiktif dia dengan yang diklaim sebagai Syaikh Al-Azhar yaitu Fadhilatu Syaikh Salim al-Bisyri, sehingga Syaikh Gad elHaq perintahkan Ulama Azhar untuk mentahqiq dan membantah buku fiktif tersebut.

Ulama besar lainnya yang hampir saja kena tipu syiah adalah Prof. DR. Musthafa As Siba'i. Beliau pernah memenuhi seruan ulama Syiah untuk mendamaikan antara Sunnah (Ahlussunnah wal Jama’ah) dengan Syiah. Syaikh As Siba’i menyambutnya dengan baik. Beliau menyampaikan pentingnya ukhuwah dalam kuliah-kuliah, seminar maupun pada kesempatan diskusi akademik.

Namun, Syaikh As Siba’i, kecewa berat. Ulama kenamaan Syiah, Abdul Husein, paska seruan, justru menulis kitab berisi caci maki Shahabat dan ‘Aisyah. Beliau pun memprotes keras kampanye ukhuwah Sunnah-Syiah pada saat itu. Syarafudin Abdul Husen Musawi, jelas As Siba’i, tidak beri’tikad baik untuk berdamai dengan Ahlussunnah. Beliau pun memutuskan untuk keluar dari seruan palsu tersebut. Kisah tersebut ditulis dalam mukaddimah kitabnya, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’.

Dalam kasus tersebut, Syaikh Mustafa As Siba’i dikhianati oleh orang-orang Syiah. Ia pun sampai pada kesimpulan bahwa ajakan Syiah sebetulnya bukan ber-ukhwah dengan Ahlussunnah, namun sejatinya mengajak Sunni untuk menjadi Syiah.

Yang menjadi renungan kita adalah, para ulama-ulama besar itu hampir atau sudah kena tipu syiah, apalagi dengan kita yang awam? Hasbunallah wani'mal wakil.