Minggu, 03 Mei 2015

Kedustaan di Media Sosial

Di dunia maya ini orang bisa bicara sebebas-bebasnya. Dengan membuat banyak akun tidak jelas, foto profil diambil dari orang lain, dst. Lalu mulailah mereka memprovokasi dengan tulisan atau perkataan yang membangkitkan kemarahan. Sebagian orang tampaknya terprovokasi dengan kata-katanya itu. Sebagian lagi merasa diuntungkan dengan kata-kata itu dan menjadikannya sebagai amunisi untuk menyerang dan memfitnah.

Tampaknya akan susah bagi kita menangkal fenomena ini. Dibunuh satu bisa tumbuh seribu. Kita bisa saja membuat petisi. Tapi yang paling utama bagi diri kita adalah menyibukkan diri dengan amal perbaikan dan dakwah. Mulailah dari diri kita sendiri untuk tidak mengatakan kedustaan atau ketidakbenaran. Karena hal itulah yang akan menentukan keimanan kita kepada Allah Swt. "Barangsiapa yang beriman pada kehidupan akhirat, maka hendaklah dia berbicara yang baik atau diam." (HR. Muttafaq alaih).

Ya, keimananlah yang menjaga lisan dan perilaku kita dari ketidakbenaran. Keimanan itu bukan tampak hanya ketika orang lain melihat kita. Dimana disaat itu kita tampil penuh kebaikan, namun ketika sepi melakukan banyak kemungkaran. Tapi keimanan itu selalu melekat dimanapun kita berada. Itulah keimanan yang hidup dan menghidupkan. Kata Sayyid Quthb, orang yang beriman itu seperti bunga yang tidak kuasa menahan wanginya yang harum.

Sabtu, 02 Mei 2015

Menulis Sejarah Artinya Menulis Ilmu Itu Sendiri

Menulis tentang sejarah tidaklah semudah yang saya bayangkan. Karena menulis sejarah artinya menulis tentang ilmu itu sendiri. Bukan hanya sekedar mengetahui kapan lahir, kapan mati, tempat  lahir, tempat mati, nama lengkapnya, nama ayah ibunya, tapi menulis sejarah artinya menulis tentang segala apa yang ada pada dirinya, termasuk maknanya yang mendalam. 

Alangkah inspiratifnya perkataan Syaikh Muhammad Abu Zahra berikut ini, "Seseorang yang mempelajari sejarah disiplin ilmu filsafat, berarti ia juga mempelajari isi ilmu filsafat itu sendii. Jika seseorang mempelajari sejarah ilmu hukum berarti juga mempelajari ilmu hukum itu sendiri. Bagi mereka yang mempunyai perhatian serta keinginan mengetahui dasar dan tujuan sebuah ilmu fikih, maka mempelajari sejarah ilmu fikih berarti juga mempelajari isi ilmu fikih. Sebab sejarah sebuah disiplin ilmu merupakan bagian dari ilmu itu sendiri." (Syaikh Abu Zahra, Imam Syafi'i, hal. 15)

Para sejarawan muslim dahulu kala hingga zaman sekarang adalah seorang ulama yang juga pakar sejarah. Mereka telah menulis buku-buku besar tentang sejarah, entah itu sejarah tokoh, sejarah kekhalifahan, sejarah ilmu, dan sebagainya. Sebut saja misalnya Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari, seorang mufassir dan mujtahid mutlak, adalah juga seorang sejarawan berkat karyanya yang gemilang Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Nabi dan Raja), atau lebih dikenal sebagai Tarikh ath-Thabari. Kitab ini berisi sejarah dunia hingga tahun 915, dan terkenal karena keakuratannya dalam menuliskan sejarah Arab dan Muslim. Lalu ada Imam Ibnu Al Atsir yang menulis kitab al-Kāmil fi t-tarīkh dan Usd al-Ghabah fi ma’rifati ash-sahabah, Imam Ibnu Katsir menulis kitab sejarah Al-Bidayah wa an Nihayah, Al-Fusul fi Sirah ar-Rasul, dan Tabaqat asy-Syafi'iyah. Imam Adz Dzahabi menulis kitab Siyar A’lam An-Nubala, Imam Jalaluddin As Suyuthi menulis kitab Tarikh Al Khulafa, dan Imam Ibnu Khaldun menulis kitab Muqaddimah.

Di Indonesia kita mengenal beberapa nama, di antaranya Prof. Abu Bakar Atjeh, seorang ulama besar dari Aceh selain menulis buku-buku keislaman, juga menulis buku tentang sejarah, seperti: Gerakan Salafiyah di Indonesia, Perbandingan mazhab ahlussunnah, perbandingan mazhab syiah, sejarah ka'bah dan manasik haji, pengantar sejarah sufi dan tasawuf, sejarah alquran, sejarah hidup KH. Wahid Hasyim, sekitar masuknya Islam di Indonesia, sejarah filsafat islam. 

Ulama lainnya, seperti Prof. Ali Hasymi menulis buku sejarah masuk dan perkembangan islam di indonesia, Syeikh Abdurrauf Syiah Kuala ulama negarawan yang bijaksana, kerajaan saudi arabia, pahlawan-pahlawan yang gugur di zaman nabi, sejarah kebudayaan islam, aceh merdeka di bawah seri ratu, apa sebab rakyat aceh sanggup berperang puluhan tahun melawan agresi belanda, iskandar muda meukuta alam, sumbangan kesustraan aceh dlm pembinaan kesustraan indonesia.

Lalu ada Prof. HAMKA ketua MUI periode pertama yang juga sastrawan dan sejarawan. Beliau adalah pencetus "teori makkah" yang telah menjadi rujukan kaum sejarawan baik muslim maupun orientalis. Yaitu teori yang menyebutkan bahwa awal masuknya berasal dari Makkah sekitar abad ke 7 M. Namun anehnya walaupun mempunyai bukti yang kuat dan otentik, buku-buku pelajaran sekolah banyak mengadopsi pemikiran orientalis, Snouck Hurgronje yang menyebutkan bahwa Islam di Indonesia datang dari pedagang-pedagang Gujarat. Lalu ada Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, guru besar sejarah UNPAD yang mempunyai semangat keislaman dengan menulis buku Menemukan Sejarah dan Api Sejarah. 

Mereka menulis tentang sejarah ulama A, maka mereka sangat paham betul tentang pemikiran ulama A tersebut. Mereka menulis sejarah perkembangan ilmu hadits, mereka paham betul tentang riwayah dan dirayah hadits. Mereka menulis sejarah perkembangan ilmu tafsir, mereka paham betul asbabun nuzul-nya, nasikh mansukh-nya, sanadnya, adabnya, makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya.

Jadi, bila ada yang ingin menulis buku sejarah, adalah sangat kurang bila kita tidak memahami seluk beluk pemikiran sejarah yang kita tulis itu sendiri. Karena sejarah artinya ilmu itu sendiri.

Jumat, 01 Mei 2015

Bila Harapan Tidak Sesuai dengan Kenyataan

Kekecewaan sering melanda saat harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Di saat harta yang kita kumpulkan hilang begitu saja. Begitu susahnya kita mendapatkannya, namun betapa mudahnya ia hilang dalam genggaman.

Muhammad bin Nu'aim suatu saat mengunjungi Bisyr Al Hafi yang sedang sakit. Kepada ulama besar Baghdad yang dikenal dengan zuhud dan wara’nya itu, Muhammad bin Nu’aim meminta nasihat, ”Berilah saya nasihat!”

Bisyr Al Hafi pun menyampaikan, "Di rumah ini ada semut, yang mengumpulkan biji-bijian di musim panas dan memakannya di musim dingin. Suatu saat aku mengambil biji dari mulutnya, lalu tiba-tiba datanglah seekor burung pipit dan memakan biji itu."

Bisyr Al Hafi pun menarik kesimpulan dari peristiwa itu,"Maka, tidak semua yang engkau kumpulkan engkau memakannya. Tidak semua harapan yang engkau cita-citakan akan engkau peroleh." (Thabaqat Al Auliya, hal. 116)

Belajar dari seekor semut, mudah-mudahan engkau memperoleh gambaran tentang hakikat kehidupan. Bersiap diri bila pada suatu hari engkau mengalaminya sendiri. Bahwa harta yang ada padamu mungkin takdirnya bukan untukmu, sebagian atau seluruhnya.