Minggu, 19 April 2015

Ridwan Kamil, Kopiah, dan Sejarah Budaya Bangsa

Kalau melihat foto kang Emil saat jalan bareng dengan Jokowi cs, tampak ada yang berbeda dari kang Emil dari kebanyakan orang yang difoto saat itu. Yaitu kopiah atau peci atau songkok yang dipakainya. Kalau melihat foto-foto sejarah pendiri bangsa, kemana-mana sering pakai songkok atau kopiah. Sebut saja misalnya Soekarno, Hatta, Agus Salim, Natsir, Sutan Syahrir, dan Wahid Hasyim. Mungkin karena inilah kang Emil disangka Presiden Indonesia oleh wisatawan dari Jerman. Karena para wisatawan itu melihat foto-foto pemimpin bangsa ini juga menggunakan songkok.


Menurut laman wikipedia, Songkok, yang disebut juga sebagai peci atau kopiah merupakan sejenis topi tradisional bagi orang Melayu. Di Indonesia, songkok yang juga dikenal dengan nama peci ini kemudian menjadi bagian dari pakaian nasional, dan dipakai tidak hanya oleh orang Islam. Songkok juga dipakai oleh tentara dan polisi Malaysia dan Brunei pada upacara-upacara tertentu. Penutup kepala ini merupakan variasi dari Fes atau Tharbusy yang berasal dari Maroko.

Songkok populer bagi masyarakat Melayu di Malaysia, Singapura, Indonesia dan selatan Thailand. Perlengkapan ini dikatakan berasal dari pakaian yang dipakai di Ottoman Turki. Songkok menjadi popular dikalangan India Muslim dan menurut pakar kemudiannya berangsur menjadi songkok di dunia Melayu.

Sedangkan dari segi bahasa, sebagaimana diungkap oleh Gustaaf Kusno di kompasiana.com, istilah ‘kopiah’ di adopsi dari kata Arab ‘keffieh’, ‘kaffiyeh’, atau ‘kufiya’, namun wujud topi ini sama sekali berbeda dengan tutup kepala orang Melayu ini. Kaffiyeh berbentuk kain katun segi empat yang ditangkupkan di atas kepala dan pola kainnya biasanya berbentuk kotak-kotak kecil seperti jala ikan. Tokoh yang populer mengenakan kaffiyeh ini adalah Yasser Arafat, pejuang Palestina. Sebagaimana kata-kata Arab lain yang diserap ke dalam bahasa Melayu, suara ‘f’ berubah pelafalan menjadi ‘p’, sehingga ‘kufiah’ pun menjadi ‘kopiah’.

Tutup kepala orang Melayu ini ternyata juga dikenal dengan nama ‘peci’. Istilah ini kemungkinan besar ‘diperkenalkan’ oleh penjajah Belanda dengan sebutan ‘petje’, yaitu kata ‘pet’ yang diberi imbuhan ‘-je’ (kebiasaan orang Belanda menambahkan akhiran ‘je’ atau ‘tje’ yang makna harfiahnya ‘kecil’). Namun sama halnya seperti ‘kaffiyeh’, ujud topi ‘pet’ ini sangat berbeda dengan ‘peci’ yang kita kenal sekarang ini. Topi pet ini mempunyai pinggiran pelindung matahari dan biasanya dipakai oleh tentara di daerah operasi. Penamaan yang sebetulnya keliru dari orang Belanda ini, akhirnya malah kita adopsi menjadi kosakata Indonesia. Jadilah ‘petje’ ini menjadi ‘peci’. Sama halnya seperti ‘je’ atau ‘tje’ lainnya, seperti ‘panje’ menjadi ‘panci’, ‘schuitje’ menjadi ‘sekoci’ (perahu penyelamat), ‘laje’ menjadi ‘laci’.

Bagaimana pula dengan istilah ‘songkok’? Dalam bahasa Inggris dikenal istilah ‘skull cap’ ( dari skull = batok kepala, cap = topi). Skull cap ini juga topi yang biasa dikenakan masyarakat di Timur Tengah, bentuknya setengah bundar dan menutupi bagian ubun-ubun (crown) kepala, mirip dengan ‘topi haji’ yang sering dipakai orang di tanah air kita. Di kawasan Melayu yang dahulu dijajah Inggris, istilah ‘skull cap’ ini juga mengalami metamorfosa pelafalan, dari bunyi ‘skol-kep’ menjadi ‘song-kep’ dan akhirnya ‘song-kok’. Istilah ‘songkok’ di tanah air kita cukup populer di zaman Soekarno, namun di masa kini sepertinya agak jarang diucapkan orang. Berbeda dengan di Malaysia dan Brunei, kata ‘songkok’ ini masih sangat galib dipakai dalam wacana sehari-hari.

Begitulah sejarah dan asal usul istilah kopiah, peci, atau songkok telah populer sejak zaman sebelum kemerdekaan. Yang mempopulerkan justru bangsa kita sendiri sehingga melekat pada kebudayaan kita. Bahwa orang melayu, orang Indonesia terkenal dengan kopiahnya. Kalau ada orang pakai kopiah kemungkinan besar itu orang Indonesia atau orang melayu. Benarlah apa yang dikatakan oleh kang Emil, sebagaimana dikatakannya di twitternya, "Saya itu terbiasa berpeci di setiap acara kedinasan. peci adalah simbol nasionalisme. Mohon maaf jika jadi salah paham. lain kali saya akan menyesuaikan."

Pada hakikatnya bukan kang Emil yang salah, tapi tampaknya para pemimpin bangsa saat ini yang tidak terbiasa menggunakan kopiah.

0 komentar:

Posting Komentar