Selasa, 21 April 2015

Menjadikan Hinaan Sebagai Cambuk Kebaikan

Imam Al Bukhari di waktu kecilnya sering mendatangi para fuqaha di Marwa. Jika mendatangi mereka, Imam Al Bukhari malu untuk mengucapkan salam.

Sampai pada suatu saat salah satu pendidik di tempat itu bertanya,”Berapa hadits yang engkau tulis hari ini?” Imam Al Bukhari pun menjawab,”Dua”. Maka tertawalah mereka yang berada di majelis tersebut.

Setelah itu, salah satu syeikh mengatakan, "Janganlah kalian menertawainya. Bisa jadi suatu saat ia yang akan menertawakan kalian!” (Siyar A’lam An Nubala, 12/401)

Benar adanya, meski pernah menjadi bahan tertawaan, ketekunan Imam Al Bukhari dalam menuntut hadits sejak di masa kecil membuatnya menjadi ulama besar di dunia Islam.

Sahabat, sering orang menertawakan kita bukan karena kita lucu tapi karena mereka tidak tahu tentang siapa diri kita sebenarnya. Tentang kebaikan yang banyak kita lakukan. Tentang kebaikan yang kita sembunyikan. Tentang betapa bersungguhnya kita dalam menuntut ilmu dan beramal.

Bertahan dan bersabar untuk terus setia di jalan yang selama ini kita tempuh adalah jawabannya. Karena bila kita mundur ke belakang malah menunjukkan ketidakikhlasan kita dalam beramal. Kita menunjukkan amal-amal kebaikan yang banyak kepada orang-orang agar kita dihormati. Kita menunjukkan betapa luasnya ilmu kita agar kita tidak dianggap bodoh.

Imam Ahmad bin Hanbal setiap hari berdoa dengan menyebut satu persatu sahabat-sahabatnya. Imam Ibnu Sirin pada siang hari tertawa, namun tatkala sedang sendirian air matanya mengalir laksana sungai.

Seorang sufi terkenal, Bisyr al-Hafi, sering duduk bersama penjual minyak wangi. Thalhah bin Mathruf, seorang qari terkemuka asal Kufah, setelah melihat bahwa telah banyak orang yang belajar darinya, dia malah berangkat menuju al-A’masy dan belajar darinya, hingga orang-orang lebih condong kepada al-A’masy dan meninggalkan Thalhah. 

0 komentar:

Posting Komentar