Jumat, 06 November 2015

Sumbangsih Tarekat bagi Kebangkitan Islam

Apa pandangan saya tentang tarekat? Apakah ia menyimpang dari kebenaran? Jawaban saya, saya tidak berani mengatakan tarekat itu menyimpang dari kebenaran. Karena saya bukanlah ahli agama atau hakim yang mampu memutuskan perkara. Saya hanya ingin mengungkapkan pandangan saya yang mungkin benar, mungkin juga salah. Tapi yang pasti adalah sejarah telah mencatatnya.

Bagi saya, tarekat pada awal mulanya adalah perwujudan dari ijtihad ulama. Tarekat adalah gerakan tasawuf yang terorganisir. Ia banyak bermunculan setelah banyak terjadinya kekacauan di negeri Islam yang dilakukan oleh orang-orang kafir, seperti direbutnya Baghdad, ibukota kekhalifahan Abbasiyah, oleh tentara-tentara Mongol pimpinan Hulaghu Khan dan dikuasainya Yerusalem oleh tentara-tentara salib.

Tentu para ulama heran, bagaimana bisa umat Islam yang memiliki agama yang agung, dikalahkan dan dipecundangi sedemikian rupa oleh orang-orang kafir. Para ulama memandang hal ini sebagai sesuatu yang berbahaya bagi umat dan melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Salah satu ulama yang mula-mula melihat kondisi yang mengkhawatirkan ini adalah Imam Al Ghazali rahimahullah. Tampaknya beliau melihat bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah umat Islam yang hubbud dunya, jauh dari agama. Sehingga umat Islam tidak begitu mempunyai semangat dalam memperjuangkan agamanya. Maka para ulama mulai menghidupkan ajaran ruhani dalam Islam, agar umat menyadari dari lubuk hatinya yang paling dalam, tentang kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuatnya, pentingnya tazkiyatun nafs dan taqarub kepada Allah, dan segera kembali pada agamanya yang nyatanya bernilai mulia.

Membangkitkan kesadaran hati dengan nilai-nilai ruhani nyatanya mampu memunculkan ghirah atau semangat baru sehingga umat pun bangkit dari keterpurukannya; hidup zuhud, jujur, sabar, tawakal, ridha, taat, syukur, mujahadah, dan melakukan kebaikan-kebaikan lainnya. Maka lahirlah dari tarbiyah itu pemimpin-pemimpin saleh seperti Shalahuddin Al Ayyubi, Nuruddin Zanki, Ertugrul, dan Muhammad Al Fatih.

Tidaklah mengherankan bila gerakan tarekat adalah gerakan yang sangat anti terhadap penjajahan. Para pengikut tarekat tidak malu-malu mengatakan penjajah itu orang kafir dan perang yang mereka kobarkan sebagai jihad fisabilillah.

Syaikh Abdussamad al-Palimbani (dari Palembang) menulis sejumlah kitab tentang jihad fisabilillah sebagai dorongan untuk mengusir pasukan kafirin, di antaranya Nashihat Al-Muslimin wa Tadzkirat al-Mu'minin fi Fadha'il Al-Jihad fi Sabil Allah. Beliau juga telah menulis surat kepada Sultan Mataram (Hamengkubuwono I) dan Susuhunan Prabu Jaka (putra Amangkurat IV) yang dapat dianggap dorongan untuk terus berjihad melawan orang kafir, sebagaimana dilakukan para sultan Mataram sebelumnya. Syaikh Abdussamad seorang sufi yang tidak mengabaikan urusan dunia, bahkan mungkin boleh disebut militan. Tidak mengherankan kalau murid-muridnya yang ahli tarekat juga siap untuk berjihad fisik.

Ulama tarekat lainnya yang memimpin gerakan jihad melawan kafir penjajah adalah Syaikh Yusuf Makassar Tajul Khalwati. Akibat perlawanannya yang sengit terhadap penjajah, dia dibuang ke beberapa tempat. Di Banten ia mengobarkan jihad, lalu tertangkap. Kemudian dibuang ke Srilangka. Di Srilangka beliau juga tidak diam, penjajah kafir membuangnya lagi ke Afrika Selatan. Bisa anda bayangkan betapa sangat jauhnya ulama yang satu ini dibuang karena ketakutan penjajah kafir akan pengaruhnya terhadap gerakan anti penjajahan.

Pada perang padri di Sumatera Barat selama 17 tahun (1821 - 1838) pimpinan yang terkenal adalah Tuanku Iman bonjol (Muhammad Syahab). Imam bonjol ini adalah seorang ulama Tarekat selalu didampingi para penasehat dan dibantu oleh panglima-panglima pasukan yang kebanyakan ulama yang mengamalkan Tarekat diantaranya Tarekat Naqsyabandiyyah, Qodiriyyah dan Samaniyah , sebagian dari mereka tertawan Belanda dan sebagian gugur.

Peran dan jasa tarekat dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan juga tampak menonjol dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Dalam pertempuran itu, Pangeran Diponegoro disokong para kiai, haji dan kalangan pesantren. Dalam perjuangan yang dilakukan Diponegoro, Kyai Maja pun tampil sebagai pemimpin spiritual pemberontakan tersebut. Untuk menarik dukukan dari pondok pesantren, tokoh agama dan jasa pengikut tarekat, Pangeran Diponegoro menyebut pemberontakannya sebagai perang suci atau perang sabil.Tak heran, jika kemudian peran dan jasa para pengikut tarekat dan umat Islam lainnya, pada waktu itu meyakini pemberontakan Diponegoro itu sebagai perang suci untuk mengembalikan pemerintahan Islam di Jawa. Perang itu pun digaungkan Diponegero untuk mengusir kolonial Belanda yang tak beriman dari tanah Jawa.

Selain itu, sejarah juga mencatat banyak lagi gerakan pemberontakan melawan penjajah belanda yang dimotori tarekat, seperti pemberontakan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (1859-1862), kasus Haji Rifa'I (Ripangi) dari Kalisasak (1859), Peristiwa Cianjur-Sukabumi (1885), Pemberontakan Petani Cilegon-Banten (1888), Gerakan Petani Samin (1890-1917) dan Peristiwa Garut (1919).

Dalam pemberontakan Cilegon - BANTEN 1888 Selama satu tahun yang menjadi pimpinan pemberontakan adalah KH. Marzuqi putera menantu KH. Asnawi kholifah Tarekat Qodiriyah Wan Naqsyabandiyah, pengganti Syaikh Abdul Karim kholifah TQN pertama di Banten. Kerugian Belanda amat besar. KH. Asnawi di tangkap Belanda. Atas bukti-bukti tersebut di atas, maka pemerintah penjajah Belanda memandang Tarekat sebagai musuh besar yang sangat ditakuti dan harus dikikis habis.

Di India Sultan Aurangzeb (pertengahan abad ke-17) adalah penganut tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat inilah yang punya andil dalam perubahan besar kehidupan beragama di bawah Sultan ini. Agama resmi yang diciptakan Sultan Akbar, Din-i Ilahi, yang merupakan perpaduan Islam dan Hindu, digantikan dengan Islam yang murni dan berorientasi syariah. Dalam salah satu surat kepada Sultan Aurangzeb, Syaikh Muhammad Ma`sum (seorang ulama tarekat Naqsyabandiyah) menganjurkannya untuk menunaikan jihad dalam dua dimensinya, yaitu perang melawan kafir (dalam hal ini negara tetangga Qandahar yang Syiah) dan perang melawan nafsu.

Itulah tarekat yang saya ketahui. Saya tidak menyetujui kemungkaran bila ada di dalamnya. Sekaligus saya tidak menafikan sumbangsihnya dalam kebangkitan peradaban Islam. Dan, setiap ijtihad ulama di zamannya berbeda-beda, bisa jadi satu ajaran Islam yang menjadi prioritas gerakannya di satu zaman, sedangkan di zaman lainnya, prioritasnya yang lain. Bukan berarti bahwa ulama-ulama itu hanya memahami Islam secara parsial, tapi justru ulama-ulama itu datang membawa obat yang diperlukan umat yang sakit.

0 komentar:

Posting Komentar