Minggu, 08 Maret 2015

Mengapa Umat Islam di Indonesia Belum Menjadi Tuan Rumah di Negerinya Sendiri?

Saya sempat bertanya-tanya mengapa umat Islam di Indonesia secara perpolitikan tidak berkuasa di negerinya sendiri. Lalu saya mencari tahu jawabannya dengan membaca buku-buku sejarah kebangsaan, seperti buku "Menemukan Sejarah", "Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia", "Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan di Indonesia", "Ensiklopedia Ulama Nusantara", dan "Menegakkan Indonesia".

Saya dapati di buku-buku yang saya baca itu, sejarah masa lalu kaum muslimin sangat jauh berbeda dengan sejarahnya di masa kini. Dalam artian, kaum muslimin di masa lalu benar-benar menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Mereka menjalankan syariat-Nya dengan bebas dan leluasa. Mereka benar-benar menjadi mayoritas dalam artian yang sebenarnya. Ulama dan Umaro saling bahu membahu dalam menegakkan agama-Nya. Umaro begitu sangat mencintai dan mendengarkan titah ulama.

Di Aceh ada Syaikh Nuruddin Ar Raniry dan Syaikh Hamzah Fanshuri. Di Sumatera Selatan ada Syaikh Abdush Shamad Al Falimbani. Di Sumatera Barat ada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Di Banten ada Syaikh Nawawi Al Bantani. Di Makassar ada Syaikh Yusuf Al Makasari. Di Banjarmasin ada Syaikh Arsyad Al Banjari. Dan seterusnya. Indonesia dari Sabang sampai Merauke telah melahirkan ulama-ulama besar yang namanya berkibar mulai dari tingkat nasional hingga internasional.

Di pertengahan abad ke-20, para ulama dan tokoh-tokoh muslim juga berperan penting dalam keberlangsungan negara ini. Sebut saja misalnya, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Al Asyari, HOS. Cokroaminoto, KH. Agus Salim, DR. Muhammad Natsir, KH. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan Buya HAMKA. Di tambah lagi keberadaan organisasi-organisasi Islam yang mengakar di masyarakat seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persatuan Islam, dan Persatuan Umat Islam. Bahkan tokoh-tokoh bangsa seperti Jenderal Besar Sudirman lahir dari organisasi Islam tersebut.

Fase Orde Lama (ORLA) di masa Soekarno boleh dibilang umat Islam dengan tokoh-tokohnya masih berperan penting di dalamnya. Banyaknya tokoh Islam dan kejayaan partai-partai Islam seperti Masyumi, NU, dan PSI saat itu benar-benar mengepung Soekarno cs sehingga 'terpaksa' Soekarno 'bagi-bagi kekuasaan' dengan tokoh-tokoh Islam.

Masa kelam tiba saat Soekarno mulai memperlihatkan kekuasaan abslotutnya. Saat itulah banyak tokoh Islam di penjarakan karena mengkritik beragam kebijakan Soekarno yang menyimpang. Regenerasi tokoh Islam atau estafeta perjuangan boleh dibilang mulai berhenti. Umat Islam Indonesia hampir dikatakan tidak punya lagi tokoh-tokoh besarnya.

Di masa Soeharto (ORBA) adalah fase tersuram perpolitikan umat Islam. Karena kaum muslimin benar-benar "dikebiri" sehingga tidak mampu berbuat banyak. Tokoh-tokoh sekuler dan liberal, terutama dari kalangan militer dan thinkthanknya bermunculan dan berada di ring satu kepresidenan membuat umat Islam semakin tersudutkan. Setiap suara politik umat Islam selalu dibungkam, tokoh-tokohnya di penjara, pengikutnya di awasi, dan segala gerak geriknya dikategorikan subversif.

Lalu biidznillah, tumbanglah rezim Soeharto. Sesuatu yang mungkin dirasa tidak mungkin terjadi bagi mereka yang hanya melihat dengan kasat mata. Tapi itulah sunnatullah. Allah pergilirkan kekuasaan pada siapa yang dikehendaki-Nya. Mataa nashrullah? Illa nashrullahi qoriib.

Boleh dikatakan Orde Reformasi adalah fase emas bagi perpolitikan umat Islam. Hal ini terlihat dari kehadiran Partai Politik yang mengatasnamakan Islam. Bisalah kita lihat juga ormas seperti FPI berani tampil garang, HTI berani menyuarakan khilafah, Jamaah Tabligh berkeliaran di jalan-jalan dan masjid-masjid. Di zaman Soeharto mana mungkin mereka berani melakukan hal seperti itu. Namun di sisi lain, mereka juga harus berhadapan dengan gerakan sekuler liberal yang juga sama-sama bebas menyerukan seruannya. Bila al haq dan al batil bertarung menurut anda siapa yang menang?

Bagi saya, pergantian ORBA menjadi Orde Reformasi bukan sekedar pergantian rezim. Tapi hal ini adalah sesuatu yang patut disyukuri karena peluang untuk melakukan kebaikan menjadi lebih besar dan lebih bebas. Bila kenyataannya hingga saat ini umat Islam belum bisa meraih kekuasaannya, tentu harus menjadi introspeksi bagi para penggeraknya mengapa hal itu bisa terjadi. Pertama, apakah para pemimpin dan tokoh-tokohnya sudah bisa menjadi teladan bagi orang-orang dibawahnya dan rakyat pada umumnya? Kedua, apakah rakyat pada umumnya terbelenggu pada kemaksiatan sehingga pada akhirnya mereka lebih memilih pemimpin yang sekuler dan liberal?

0 komentar:

Posting Komentar