Selasa, 10 Maret 2015

Keberanian untuk Memulai Kebaikan

"Barangsiapa tidak menyayangi siapa (yang berada) di bumi maka tidak menyayanginya siapa (yang berada) di langit." (HR. Ath Thabrani, dan dishahihkan oleh Al Hafidz As Suyuthi)

Dalam Syarh Al Hikam disebutkan, bahwa seseorang bermimpi bertemu dengan saudaranya yang telah wafat, kemudian ia pun bertanya mengenai perihalnya, "Apa yang telah Allah lakukan terhadapmu?" Saudaranya itu pun menjawab,”Allah mengampuniku dan menyayangiku, hal itu disebabkan saat aku melalui jalanan di Baghdad dalam keadaan hujan deras, aku menyaksikan seekor kucing kedinginan, aku pun merasa kasihan lalu aku ambil dia dan kuletakkan dibalik pakaiannku." (Lihat, Faidh Al Qadir, 6/239)

Melakukan kebaikan memerlukan keberanian untuk memulai.Saat berada di dalam sebuah bus, disebelah kita ada seorang nenek berdiri. Dia berdiri karena tidak dapat kebagian tempat kursi. Karena kasihan kita pun mempersilahkan sang nenek untuk duduk di tempat kita duduk. Tampak sederhana. Tapi sungguh hal itu memerlukan keberanian untuk memulai. Karena bisa saja ada respon orang lain yang membuat kita malu. Misalnya perkataan teman kita, "Wah solehnya kamu", "Ngga nyangka kamu begitu peduli". Atau pandangan tidak biasa dari orang-orang di sekeliling kita.

Mungkin mereka memandang kita demikian karena kita tidak seperti yang mereka bayangkan sebelumnya; kita ini sama seperti mereka. Sama-sama tidak peduli. Sama-sama tidak soleh.

Keberanian itu mengalahkan ocehan-ocehan yang membuat kita malu atau ego yang membuat kita tidak bergerak atau rasa malas yang membuat kita tidak mau berkorban. Keberanian kita akan menjadi pembeda antara kita dengan mereka; apakah kita sama seperti mereka atau tidak. Tatkala orang lain tidak peduli; apakah kita peduli atau tidak. Memulai tradisi yang baik menjadikan kita gerbong yang diikuti; pahala yang kita terima tidak hanya berhenti disitu tapi terus sampai hari penghisaban.

0 komentar:

Posting Komentar