Kamis, 26 Februari 2015

Melihat Indonesia dari Luar Negeri (2)

Sudah lazim wisatawan asal Indonesia dikenal sebagai wisatawan yang doyan belanja. Sebagian dari penjualnya sudah fasih berbahasa Indonesia. Hal ini tentu saja membuat calon pembeli akan lebih senang berbelanja ke penjual yang bisa berbahasa Indonesia ketimbang yang tidak bisa.

Berdasarkan laporan perusahaan belanja wisatawan Global Blue Analytics yang dikutip China Daily (hal. 7, edisi 11 juni 2014), ada 5 negara yang terbilang cukup royal dalam rata berbelanja di luar negeri dalam mata uang dollar: 1. Tiongkok $ 1.103, 2. Amerika Serikat $ 876, 3. Indonesia $ 823, 4. Jepang $ 689, dan Rusia $ 482.

Dari data di atas dapat kita lihat, Indonesia berada pada rangking ketiga dalam hal berbelanja di luar negeri. Ini baru sebatas mata uang dollar, belum mata uang real Arab Saudi, Yuan China, Dollar Hongkong, Ringgit Malaysia, Euro Eropa, dan seterusnya, bisa jadi Indonesia berada di peringkat pertama.

Indonesia bersaing menduduki peringkat pertama dengan negara-negara yang jauh lebih maju perekonomiannya. Bandingkan dengan Tiongkok yang pendapatan perkapitanya $ 10.000 per tahun dan PDB nya terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, Amerika Serikat dengan pendapatan perkapitanya $ 49.800, Jepang $ 38.457, Rusia $ 16.690. Bagaimana dengan Indonesia? Ternyata pendapatan perkapitanya baru sampai $ 3.797. Wajar saja negara-negara maju mampu berbelanja lebih banyak daripada negara-negara berkembang karena toh pendapatan perkapitanya jauh lebih besar berlipat-lipat dibanding negara-negara berkembang khususnya Indonesia.

Jadi, uang yang ada di dalam negeri, dihabiskan oleh masyarakat Indonesia untuk dihabiskan berbelanja di luar negeri. Berbeda dengan di Indonesia, 60% mal-mal di Singapura justru berasal dari belanja wisatawan termasuk dari Indonesia. Jadi, negara seperti Singapura kaya bukan dari wisatawan domestik tetapi datang dari wisatawan mancanegara dalam hal ini Indonesia. Di Indonesia walaupun sudah banyak sentra-sentra industri, tapi karena political will pemerintah dan pelaku bisnis travel kurang, hasilnya wisatawan-wisatawan mancanegara malah lebih diarahkan ke wisata alam, bukan wisata belanja produk lokal. 

Karena banyaknya barang belanjaan, tas pun "beranak pinak". Tadinya hanya bawa satu, kini bawa 2-3. Tadinya bawa 2, kini bawa 3-4. Dan seterusnya hingga pusing sendiri apakah tas bagasi sudah melampaui dari berat yang ditentukan atau belum. Pernah saya lihat seorang ibu terpaksa membongkar tas bagasinya karena kelebihan berat. Kemudian sebagian isinya dia titipkan kepada seorang temannya yang tas bagasinya masih bisa diisi beberapa kilogram lagi.

Melihat dahsyatnya belanja masyarakat Indonesia ini, orang-orang luar berbondong-bondong mendirikan mal-mal. Seperti sebuah lingkaran setan, masyarakat kita di setting untuk menjadi masyarakat yang konsumtif. Shopping center tidak lagi dilihat sebagai pusat belanja semata tetapi telah menjadi pusat rekreasi bagi keluarga, anak-anak dan masyarakat kita pada umumnya. Apakah hal itu juga terjadi pada Anda?

Bandingkan dengan masyarakat Eropa pada akhir pekan lebih suka melakukan adventure atau petualangan ketimbang ke mall. Demikian laporan dari traveltextonline.com.

Pada hakikatnya negara kita adalah negara yang sangat kaya sumber daya alamnya. Tetapi kekayaan itu menjadi hal yang biasa-biasa saja ketika masyarakatnya tidak dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Masyarakat yang konsumtif adalah masyarakat yang membeli barang tidak sesuai dengan kebutuhan dan menerima begitu saja tanpa pernah berpikir untuk menciptakannya. Sumber daya alam kita di ekspor, lalu di jual kembali oleh orang luar ke Indonesia dengan beraneka ragam macam produk dengan harga yang jauh lebih mahal. Merknya merk luar tapi isinya punya kita. Kita beli suatu produk di luar negeri tapi kenyataannya isinya berasal dari negara kita. Bila seperti ini terus, apa bedanya kita dengan bangsa terjajah?

0 komentar:

Posting Komentar